Solusi Iklim Datang dari Desa: UGM dan UB Soroti Kearifan Lokal Komunitas Adat, Dorong Keadilan Restoratif di Tingkat Tapak
- account_circle Warjono
- calendar_month Sab, 22 Nov 2025
- comment 0 komentar

Dr. Hilya Mudrika Arini dari Universitas Gadjah Mada (berbaju putih) melihat media massa berperan penting dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim. (istimewa)
TERAS MALIOBORO–Upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia tidak hanya bergantung pada regulasi pemerintah (top down), tetapi juga pada inovasi sosial dan kearifan lokal yang diterapkan masyarakat di tingkat tapak (bottom up). Pendekatan ini menjadi sorotan utama dalam forum Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Roadshow di Yogyakarta pada hari kedua, 20 November 2025, yang diselenggarakan oleh KONEKSI, kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia.
Forum ini menghadirkan temuan 15 riset kolaboratif yang menunjukkan bahwa komunitas, meskipun memiliki keterbatasan dalam mendefinisikan krisis iklim, telah menerapkan strategi cerdas untuk mengatasi tantangan lingkungan.
Prof. Aan Eko Widianto dari Universitas Brawijaya (UB) dan tim memotret keseharian tiga komunitas adat: Kajang di Bulukumba (Sulawesi Selatan), Tengger di Malang (Jawa Timur), dan Marapu di Sumba Timur (NTT). Penelitian mereka menunjukkan bagaimana komunitas lokal telah menerapkan kearifannya dalam merespons perubahan iklim.
“Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan restoratif (restorative justice) tidak dipandang secara sempit untuk penegakan hukum, tetapi lebih luas untuk memungkinkan individu, komunitas, dan lingkungan mengembalikan keseimbangan antarrelasi,” jelas Prof. Aan.
Melalui pendekatan ini, komunitas adat duduk bersama, mendiskusikan dampak perubahan iklim, dan merencanakan strategi pembangunan secara inklusif. Dampaknya, suara tiap orang, termasuk kelompok rentan, didengar, dan masyarakat mampu memahami serta mengambil keputusan untuk memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya.
Regulasi Belum Payungi Silent Disaster
Meski solusi lokal sudah berjalan, para peneliti menyoroti adanya gap dalam kerangka kebijakan nasional. Dr. Laely Nurhidayah (BRIN) memaparkan hasil risetnya mengenai kombinasi kenaikan air laut dan penurunan muka air tanah sebagai silent disaster di wilayah pesisir yang belum diakomodasi oleh UU Penanggulangan Bencana.
Sementara itu, Dr. Luqman-Nul Hakim (UGM) yang meneliti aspek “kerusakan dan kehilangan” (loss and damage) akibat perubahan iklim, menegaskan bahwa tata kelola terhadap dampak ini masih lemah di Indonesia.
“Perspektif tentang perubahan iklim masih belum dilihat dalam sudut pandang masyarakat terdampak, sementara keberpihakannya juga belum mengarah ke masyarakat yang terpinggirkan,” kata Dr. Luqman-Nul, menyerukan agar kebijakan lebih mengarah ke perlindungan masyarakat yang termarjinalkan.
Inovasi Padi Tahan Iklim dan Komunikasi Media Sosial
Diskusi juga menyepakati bahwa solusi mitigasi dan adaptasi memerlukan teknologi. Prof. Yekti Asih Purwestri (UGM) membawa kabar baik bagi sektor pertanian yang rentan kekeringan. Timnya sedang menyortir varietas padi lokal yang tidak hanya tahan salinitas dan kekeringan, tetapi juga bernutrisi tinggi.
“Bersama tim riset Australia, kami mengembangkan varietas ini lewat teknologi genome editing. Dalam lima tahun ke depan, kami berharap dapat mendistribusikan hasil riset ini ke masyarakat melalui Dinas Pertanian,” ujar Prof. Yekti.
Inovasi lain ditekankan pada komunikasi. Dr. Hilya Mudrika Arini (UGM) menemukan fakta unik bahwa masyarakat pedesaan kini lebih percaya informasi dari media sosial daripada peneliti. Oleh karena itu, periset didorong untuk mendiseminasikan ilmu dan solusi di tingkat tapak melalui platform yang tepat, agar upaya mitigasi dan adaptasi yang rumit menjadi lebih mudah dipahami oleh khalayak. (*)
- Penulis: Warjono






Saat ini belum ada komentar