Ancaman di Balik Tembok, Mengapa Mayoritas Bangunan 2-4 Lantai di Indonesia Berisiko Tinggi Runtuh?
- account_circle Warjono
- calendar_month Kam, 27 Nov 2025
- comment 0 komentar

Ahli konstruksi Ir Steffie Tumilar hadir dan menyampaikan paparan dalam acara seminar dan pelatihan yang digelar Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Komda DIY di Grand Rohan Hotel, Kamis (27/11/2025). (warjono/terasmalioboro.id)
TERAS MALIOBORO–Indonesia menghadapi krisis tersembunyi di sektor konstruksi, di mana keselamatan ribuan bangunan, terutama yang berukuran menengah (dua hingga empat lantai), berada dalam status bahaya. Para ahli konstruksi memperingatkan bahwa masyarakat diintai oleh risiko kegagalan struktur yang bukan disebabkan oleh bencana alam, melainkan oleh kesalahan mendasar sejak tahap awal pembangunan.
Peringatan ini menguat dalam seminar dan pelatihan yang digelar Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Komda DIY di Grand Rohan Hotel, Kamis (27/11/2025). Kegiatan ini mendapat atensi dan dukungan luas dari para pelaku usaha di sector terkait. Ada belasan pelaku bisnis yang mendukung, PT. Delta Systech Indonesia, PT. Arcon Radian Abadi, PT. Garuda Yamato Steel, PT. Hutama Karya (Persero), PT. Nindya Karya, PT. Alchemco Construcuon Products Indonesia, PT. Chandra Karya Nusantara, PT. Waskita Beton Precast Tbk, PT. Fosroc Indonesia, PT. Beton Elemenndo Perkasa, Prota Asia Pte Ltd, PT. Bauer Pratama Indonesia, dan PT. Brantas Abipraya.
Keselamatan Publik: Harga Mati
Menurut Ir. Steffie Tumilar MEng, seorang ahli konstruksi, inti dari masalah ini adalah kegagalan menegakkan keselamatan publik (public safety). Bagi Steffie, tidak ada negosiasi atau toleransi sedikit pun ketika menyangkut nyawa manusia.
“Ketika sesuatu menyangkut nyawa orang, tidak boleh ada tawar-menawar. Mau bicara soal anggaran atau SDM, kalau menyangkut keamanan publik, itu wajib,” tegasnya.
Steffie menyoroti bahwa penyebab kerusakan bangunan sering kali tidak disalahkan secara benar. Angin atau hujan bukanlah penyebab utama atap rubuh, melainkan hanya pemicu.
“Penyebab utamanya ada sejak awal: salah perencanaan dan salah pelaksanaan. Menyalahkan angin itu sama saja pembodohan publik,” kritiknya.
Pintu Masuk Kegagalan Struktural
Masalah utama kegagalan struktural pada bangunan kecil hingga menengah, yang kerap dibangun oleh kontraktor non-profesional atau “kontraktor pinggir jalan”, berpusat pada:
- Material di Bawah Standar: Mutu bahan bangunan, terutama beton, tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disyaratkan.
- Kualitas Pelaksanaan Rendah: Pengerjaan di lapangan dilakukan tanpa standar operasional yang baku.
- Absennya Pengawasan: Bangunan didirikan tanpa keterlibatan konsultan pengawas yang kompeten, membuat cacat konstruksi tidak terdeteksi sejak dini.
“Bahaya yang timbul dari praktik ini tidak terlihat di permukaan, tetapi dampaknya pada struktur adalah nyata dan bisa fatal,” jelas Steffie.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh data di lapangan mengenai kepatuhan perizinan bangunan. Meski regulasi IMB telah diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang lebih menekankan standar teknis, kepatuhan masyarakat masih sangat rendah.
Data regional menunjukkan, di beberapa wilayah seperti Kabupaten Bandung, diperkirakan 90 persen bangunan belum memiliki izin yang sah (PBG/IMB). Pada segmen bangunan sosial, kasus yang diangkat Steffie jauh lebih ekstrem, hanya puluhan dari lebih 40.000 pondok pesantren yang memiliki IMB.
Ketua I HAKI Pusat, M. Arif Toto Raharjo, menambahkan bahwa antusiasme peserta seminar yang tinggi, termasuk konsultan, akademisi, dan penyedia jasa, mengindikasikan kebutuhan mendesak akan peningkatan kompetensi.
Arif menekankan bahwa kunci menuju keselamatan adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF). SLF hanya bisa terbit jika PBG benar, pelaksanaan benar, dan pengawasan dilakukan secara profesional.
“Konsultan manajemen konstruksi itu adalah nyawa dari seluruh proses. Jika mereka saja kesulitan menjawab standar mutu beton, bagaimana kita bisa memastikan bangunan laik fungsi?,” ujar Arif, mencontohkan permasalahan teknis di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kepedulian Pemilik dan Intervensi Pemerintah
Pesan kunci dari para ahli adalah bahwa solusi bukan hanya ada di tangan teknisi, tetapi juga pada kepedulian kolektif.
“Kepedulian harus ada. Jika pemiliknya cuek dan instansi terkait diam, semua regulasi percuma. Sering kali kita baru ribut dan saling menyalahkan setelah ada insiden,” lanjut Steffie.
Peringatan HAKI menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah yang menerbitkan izin, penyedia jasa konstruksi, hingga pemilik bangunan. Mengingat sebagian besar bangunan di Indonesia adalah properti non-tinggi yang luput dari pengawasan ketat, kegagalan dalam menegakkan standar mutu dapat berujung pada bencana yang mengintai jutaan jiwa. (*)
- Penulis: Warjono






Saat ini belum ada komentar